epang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan
prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan
pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di
Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi
dan watak yang “pas” bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang
sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di
A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi
sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S.
yang bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone
pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di
kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut.
Team
Amerika Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang
pejabat di kantor pendidikan di Washington disebut sebagai suatu potret
sistem pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana
dikutip oleh Newsweek, 12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di
Jepang diperkirakan mempunyai IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak
dikenal lagi. Di samping itu berdasarkan tes yang telah distandardisir
secara internasional ternyata murid-murid SMA di Jepang memiliki skore
di bidang matematik dan sain lebih tinggi dari pada murid-murid SMA di
A.S. Tambahan lagi, penelitian ini mempertebal keyakinan para pengamat
bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan peran yang penting dan sangat
menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada dua puluh lima tahun
terakhir ini.
A. Antara Menghafal dan Berfikir
Dimana
letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat
pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau
dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan
sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang
kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara
nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran
menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang
diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir
atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis
dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada
treatment khusus untuk murid yang tertinggal.
Sekolah menekankan
pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan
singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan
yang “kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik”. Di fihak lain,
sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya
atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu,
juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi
lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai
dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang
tidak bisa “menikmati” enaknya sekolah.
Sebab dari waktu ke waktu
anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan
ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative
dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan
dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau
secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan
disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di
Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan
kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang
diterapkan di Amerika Serikat.
Dibalik sistem pendidikan di
Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang
patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru
dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan
waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika
Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan
orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya
senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar
kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara
berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar
sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk
mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang.
Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini
mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik.
Di fihak lain,
pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana
anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan
kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang
kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul “A Place called school”
ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata
hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk
berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan
keterangan guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang
lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata
lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana
dicita-citakan para ahli.
B. Kiblat Pendidikan
Membaca
laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru.
Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan
falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan
dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan
latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia
pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem
pengajaran yang menekankan “proses”, dengan metode pengajaran yang
disebut “Inquiry Teaching Method”. Metode ini sangat ampuh untuk
meningkatkan critical thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini
sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ?
Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di kelas dan anak
didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian untuk
mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh
kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode
inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan.
Misalnya dengan mulai menerapkan di tingkat sekolah dasar kelas satu.
Atau, malahan sebaliknya, lebih baik memantapkan pelaksanaan pengajaran
dengan metode yang sudah dikenal tetapi sebenarnya belum dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah penulis temui pada suatu
pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan “Apakah
tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara
mengajarkan dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan
metode baru yang masih sangat asing ?” Nampaknya, kiblat pendidikan
tidak hanya Amerika Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam
rangka menyusun dan mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan
falsafah dan budaya Indonesia.
Sumber : go to a website
Tidak ada komentar:
Posting Komentar